Si kecil Jalanan
‘’kami... kami memang si kecil jalanan’’
terdengar suara beberapa anak kecil sedang menyanyi dengan gitarnya dari luar
kaca mobil yang ku tumpangi. Suara itu pula yang seketika membangunkanku yang
sedang tertidur pulas di dalam mobil. Ku lihat sesosok anak kecil dengan pakaian
lusuh, kumal, kotor, menyelimuti tubuh mungilnya. Dari postur tubuhnya
menggambarkan kira-kira mereka berusia 8-9 tahun. Kulit kakinya yang halus
berubah menjadi kasar karena bergesekan dengan aspal untuk menapaki jalan demi
jalan. Terik matahari telah mengubah rambut hitamnya menjadi kecoklatan.
Semuanya tampak amat menyedihkan.
‘’kasihan...’’ gumamku
dalam hati. Seketika aku mengambil uang receh yang terselip di kantung belakang
celana jeans yang aku kenakan.
‘’ini..’’ ucapku sambil membuka kaca lalu
memberikan uang kepadanya. Si kecil itu hanya tersenyum lalu pergi. Tak ku
dengar sepatah kata pun keluar dari mulut mungilnya. Hanya tatapan mata tak
berdosa yang berbinar pertanda ada sedikit kebahagiaan.
‘’kasihan, anak sekecil
itu harus mencari uang’’ ucap ayah sambil memulai mengemudikan mobilnya setelah
dilihatnya lampu hijau.
‘’iya, kasihan sekali
ya Yah’’ sambung Ibu yang duduk di samping ayah.
‘’iya, kasihan sekali’’
sambungku pula.
‘’kamu harus banyak-banyak
bersyukur karena kamu sudah termasuk orang yang beruntung loh Cha. Kamu bisa
sekolah, hidup kamu juga tercukupi tanpa harus mencari uang dengan cara
mengamen seperti mereka’’ ucap ayah kepadaku.
‘’iya Cha, benar kata ayah kamu harus banyak bersyukur’’
ucap ibu.
‘’iya, Icha menjadi
merasa sangat beruntung’’ ucapku.
***
‘’ayah, ibu, aku
berangkat sekolah dulu ya” ucapku sambil menghampiri Ayah dan Ibu yang berada
di meja makan.
‘’Loh Cha, kamu tidak
sarapan dulu?’’ ucap ibu dari arah meja makan.
‘’enggak Bu, aku
kesiangan nanti saja aku sarapan di sekolah’’ ucapku sambil bergegas. Ya, hari
ini memang aku sedikit kesiangan. Itu karena semalam aku menonton tayangan
televisi hingga larut malam.
‘’kamu tidak mau
berangkat bareng Ayah saja?’’ ucap Ayah menawarkan diri.
‘’tidak usah Yah, aku
naik bus saja’’ ucapku sedikit berlari meninggalkan meja
makan.
***
5 menit, 10 menit, 15
menit, bus yang biasanya aku tumpangi tak juga datang.
“mana nih bus nya, kalo terus seperti ini aku bisa
terlambat’’ gerutu ku sambil terus melihat ke arah dimana bus itu biasanya
muncul.
Sementara kulihat jam
tanganku yang berwarna merah muda, hampir menunjukkan pukul 06.30. Jika tidak
ingin mendapat hukuman, setidaknya aku harus segera sampai di sekolah tepat
pukul 06.30. Tak lama akhirnya bus yang ku tunggu datang juga. Bergegas aku
menaiki bus itu, berharap sampai di sekolah tepat pada waktunya.
Beberapa kursi telah
dipenuhi penumpang. Aku pun memutuskan untuk duduk di kursi yang tidak terlalu jauh
dari pintu. Tidak berapa lama, bus pun mulai jalan meninggalkan halte. Selama
perjalanan aku dengar ada beberapa anak kecil yang meyanyi dengan gitar kecil
yang dibawanya.
“sepertinya aku pernah
mendengar lagu itu” ucapku dalam hati. Ku angkat badanku setengah berdiri
hingga melihat anak-anak kecil itu.
“loh, itu kan pengamen
yang kemarin” gumamku dalam hati. Ku dengar beberapa syair lagu yang mereka
bawakan sejak tadi. Ya, memang ada beberapa lagu yang mungkin mereka ciptakan
sendiri. Beberapa lirik mengisahkan keseduhan mereka menjadi seorang pengamen.
Namun, ada pula beberapa lirik yang mengisahkan kegembiraan mereka selama ini.
Aku terus menyimak lagu-lagu yang dibawakan mereka sampai akhirnya mereka mulai
meminta uang sebagai imbalan.
“ini...” ucapku sambil
memberi uang kepada salah satu anak.
“terimakasih” ucap anak
itu polos.
“eh tunggu, nama kamu
siapa?” ucapku.
“aku?” ucap anak itu.
“iya kamu” ucapku
membenarkan.
“nama aku Adi kak”
ucapnya sambil setengah tersenyum.
“kalau nama kakak,
Icha” ucapku memperkenalkan diri.
Adi langsung berlari
mencoba mengejar teman-temannya yang akan segera turun dari bus yang aku
tumpangi.
Tidak terasa aku pun
sudah sampai di sekolah. Tuhan memang sayang padaku, hari ini aku berhasil
sampai di sekolah tepat pada waktunya. Aku mulai aktivitas ku seperti biasanya,
seperti layaknya siswi kelas 3 SMA. Pulang lebih sore karena pendalaman materi,
PR dari setiap mata pelajaran yang harus segera dikumpulkan, hingga terpaksa
tidak masuk sekolah beberapa hari akibat sakit karena kecapekan. Huh, semuanya
memang terasa berbeda dari kelas-kelas sebelumnya, kelas 3 ini memang lebih
berat rasanya.
***
“assalamualikum” ucapku
sambil masuk ke dalam rumah.
“waalaikum salam
sayang, kamu sudah pulang, gimana capek ya? Ya sudah ganti baju terus makan
yah” ucap Ibu sambil mengelus rambut panjangku.
“iya Bu, aku ganti baju
dulu yah” ucapku sambil menuju ke kamar yang dekat dengan ruang tamu.
Aku ganti baju, lalu
segera menuju ke meja makan. Seperti biasanya, Ibu selalu menanyakan bagaimana
aktivitas ku tadi selama di sekolah. Ibu juga tidak jarang memberi aku beberapa
saran jika aku ada masalah di sekolah. Entah itu tentang teman, maupun tentang
pelajaran. Begitu pun dengan Ayah, ia selalu menuntunku dalam mengambil setiap
keputusan. Ya, aku memang anak tunggal mereka maka tidak heran jika mereka
sangat perhatian padaku. Apa pun itu, Aku sangat beruntung memiliki orangtua
seperti mereka.
***
Pagi ini aku bangun
tepat pada waktunya, tidak seperti kemarin. Ku mulai aktivitas ku dengan mandi
lalu sarapan bersama ayah dan ibu. Setelah sarapan, aku bergegas berangkat ke
sekolah. Seperti biasanya aku berangkat sekolah dengan menaiki bus. Di bus aku
bertemu dengan para pengamen-pengamen itu lagi. Aku cukup senang bertemu lagi
dengan mereka. Aku senang karena aku bisa berbagi sedikit rezeki kepada mereka.
Tidak terasa, sudah
hampir 1 bulan terakhir ini, aku selalu bertemu pengamen-pengamen cilik itu di
bus. Aku pun mulai mengenal mereka satu persatu. Begitu pun sebaliknya, mereka
juga mulai mengenalku. Bukan hanya uang, aku juga sering memberi mereka
makanan. Selain itu, aku juga pernah memberi mereka baju layak pakai. Walaupun
tidak baru, tapi setidaknya baju itu masih layak untuk mereka kenakan.
***
“Eh Cha, gimana nih tugas film
dokumenter kita?” ucap Dina, salah satu teman sekelas ku.
“Oh
iya, aku lupa bagaimana ini?” ucapku panik. Aku benar-benar lupa kalau Ibu Ani
kemarin memberikan tugas kelompok teater
untuk membuat film dokumenter.
“kalau
tidak salah, kemarin bu Ani bilang judulnya tetang kisah pengamen cilik” ucap
Dion, salah satu teman kelompok teater ku.
Tiba-tiba
saja aku teringat pada para pengamen cilik yang sering aku temui di bis.
“oh
iya, aku punya kenalan anak pengamen. Gimana kalau kita ngambil cerita tentang
kehidupan mereka aja?” ucapku antusias.
“kalau
gitu aku setuju” ucap Dina.
“iya,
aku juga setuju” ucap Dion menyetujui.
“iya,
kami juga setuju” ucap anggota kelompok ku yang lain.
“baiklah
kalau begitu, nanti aku kenalkan kalian pada mereka” ucapku.
***
Tidak
seperti biasanya, hari ini aku tidak bertemu dengan para pengamen cilik itu di
bus. Padahal aku ingin mengajak Adi dan teman-temannya untuk berkenalan dengan
teman-temanku. Karena Adi dan teman-temannya tidak ada, maka aku putuskan untuk
menanyakan hal itu keesokan harinya.
Keesokan
harinya harinya aku pun tidak bertemu lagi dengan para pengamen cilik itu.
Begitu seterusnya, selama hampir 1 minggu aku tidak pernah bertemu dengan
mereka. Aku bingung kenapa mereka tiba-tiba saja menghilang. Padahal aku harus
segera bertemu dengan mereka untuk membicarakan mengenai film dokumenter yang akan
aku buat. Tanpa mereka tugas itu tidak akan selesai. Sedangkan 1 minggu lagi
tugas itu harus segera dikumpulkan. Kali ini aku benar-benar bingung harus
mencari mereka kemana. Sampai akhirnya.......
“Kak
Icha ! “ seseorang memanggilku dari
seberang jalan di dekat lampu merah. Seketika aku menoleh kepadanya. Orang itu
pun langsung berlari menghampiriku yang sedang berada di halte tempat biasanya
aku menunggu bus jika pulang sekolah.
“Eh,
Pia ada apa? Oh iya, Mana Adi?” ucapku. Pia adalah salah satu anggota dari
pengamen cilik yang sering aku temui di bus.
“Adi............”
ucap Pia sambil menundukkan kepalanya.
“loh
kenapa? Mana Adi?” ucapku setengah membungkuk sambil memegang kedua pundak Pia.
“Adi
kecelakaan Ka, 1 minggu ini kita gak ngamen kak karena kita semua jagain Adi di
rumah sakit” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
“kecelakaan?
Ya Allah.....” ucapku kaget.
“iya
kak, jadi kemarin kita di kejar-kejar satpol pp terus kita semua lari. Pas lari
Adi gak ngeliat kalau di depannya ada motor, motor itu lagsung nabrak Adi”
“ya
Allah, terus sekarang keadaan Adi gimana?” tanya ku penasaran.
“alhamdulillah
udah lumayan baik, tapi.............” ucap Pia terpotong.
“tapi
kenapa?” tanyaku lagi.
“kita
gak punya uang buat bayar biaya rumah sakitnya Adi kak” ucap Pia tertunduk.
“ya
sudah nanti kakak ajak teman-teman kakak untuk menyumbangkan uang untuk biaya
rumah sakitnya Adi” ucapku menenangkan Pia.
“makasih
ya kak” ucap Pia tersenyum gembira.
“iya,
sama-sama” ucapku membalas senyum.
***
Keesokan harinya aku
berusaha menjelaskan kepada teman-temanku apa yang sebenarnya terjadi. Dan aku
pun mengutarakan maksud ku untuk meminta sedikit bantuan kepada teman-temanku
untuk menyumbangkan uang seikhlasnya untuk membantu Adi. Di luar dugaan,
ternyata mereka sangat peduli, bahkan uang yang berhasil terkumpul lebih dari
cukup.
Keesokan harinya kami
menjenguk Adi di rumah sakit. Setelah membayar biaya rumah sakit, Sisa uangnya
tersebut kami berikan kepada para pengamen cilik itu. Tidak lupa, kami pun
menyampaikan tujuan kami untuk membuat film tentang kehidupan mereka sebagai
para pengamen cilik. Mereka pun bersedia untuk membantu kami.
Akhirnya tugas film dokumenter kelompok kami
pun selesai dan mendapat nilai yang cukup memuaskan. Itu semua berkat jasa Adi
dan teman-temannya sebagai Si kecil jalanan.
0 komentar:
Posting Komentar